TANTANGAN PENDIDIKAN MORAL DI ZAMAN MODERN
Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan kriteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial. Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti.
Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada kesejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan.
Arti Pendidikan Moral
Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedangkan moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat setempat.
Perkembangan Era Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
• Dampak positif :
1. Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan komunikasi
3. Cepat dalam bepergian (mobilitas tinggi)
4. Menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran
5. Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi kebutuhan
• Sedangkan dampak negatif :
1. Informasi yang tidak tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
4. Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh oleh hal yang berbau barat
Pendidikan Moral Menurut Pandangan Islam
Ada istilah yang senantiasa disejajarkan ketika seseorang membicarakan tentang etika sosial manusia. Di antara istilah-sitilah itu adalah moral, etika, dan akhlak. Rachmat Djatnika (1996:26) dalam bukunya yang berjudul Sistem Ethika Islami mengatakan bahwa sinonim dari akhlak adalah etika dan moral.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pengertian dari moral dipakai untuk menunjuk kepada suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai dengan ide-ide umum yang berlaku dalam suatu komunitas atau lingkungan tertentu.
Sementara itu dikatakan oleh Karl Barth, kata ETIKA yang berasal dari kata ETHOS adalah sebanding dengan kata MORAL dari kata MOS. Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan. Di sini Karl Barth secara tegas memberikan penjajaran yang sama antara kata etika dan moral.
Terkait dengan moralitas atau akhlak manusia ini, al-Ghazali membuat pembedaan dengan menempatkan manusia pada empat tingkatan. Pertama, terdiri dari orang-orang yang lengah, yang tidak dapat membedakan kebenaran dengan yang palsu, atau antara yang baik dengan yang buruk. Nafsu jasmani kelompok ini bertambah kuat, karena tidak memperturutkannya. Kedua, terdiri dari orang yang tahu betul tentang keburukan dari tingkah laku yang buruk, tetapi tidak menjauhkan diri dari perbuatan itu. Mereka tidak dapat meninggalkan perbuatan itu disebabkan adanya kenikmatan yang dirasakan dari perbuatana itu. Ketiga, orang-orang yang merasa bahwa perbuatan buruk yang dilakukannya adalah sebagai perbuatan yang benar dan baik. Pembenaran yang demikian dapat berasal dari adanya kesepakatan kolektif yang berupa adat kebiasaan suatu masyarakat. Dengan demikian orang-orang ini melakukan perbuatan tercelanya dengan leluasa dan tanpa merasa berdosa. Keempat, orang-orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan buruk atas dasar keyakinannya (Abul Quasem, 1988:92).
Dalam rangka tujuan membangun akhlak yang baik dalam diri manusia, al-Ghazali menyarankan agar latihan moral ini dimulai sejak usia dini. Pribahasa Arab mengatakan bahwa pembelajaran sejak kecil seperti mengguratkan tulisan di atas batu. Orang tua menurutnya bertanggung jawab atas diri anak-anaknya. Bahkan ia mengatakan agar seorang anak diasuh dan disusukan oleh seorang perempuan yang saleh. Makanan berupa susu yang berasal dari sumber yang tidak halal akan mengarahkan tabiat anak ke arah yang buruk. Setelah memasuki usia cerdas (tamyiz), seorang anak harus diperkenalkan dengan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam Islam. Seperti disebutkan di atas, proses ini dapat dilakukan melalui pembiasaan dan melalui proses logis atas setiap perbuatan , baik yang menyangkut perbuatan baik atau buruk. Melakukan identifikasi secara rasional atas setiap akibat dari perbuatan baik dan buruk bagi kehidupan diri dan sosialnya.
Ketika pikirana logis itu menyertai perbuatan seseorang, insya Allah setiap orang akan berpikir lebih dahulu dalam melakukan perbuatannya. Apakah perbuatan itu berimplikasi buruk, baik yang berupa munculnya prasangka buruk terhadap dirinya, atau secara langsung berakibat buruk terhadap orang lain. Dengan kata lain terdapat kontrol yang terus menerus dari diri seseorang ketika akan melakukan suatu perbuatan tertentu. Seseorang akan memiliki kesadaran sejati dan pertimbangan yang matang terhadap implikasi-implikasi dari setiap perbuatannya.
Pola Pikir Tantangan Pendidikan Agama Islam Dalam Era Global
Suatu tantangan yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan adalah pola hidup modern di era global yang cenderung bersifat mendunia dan individual. Oleh karena itu semua aspek kehidupan tidak bisa dipastikan cocok dengan kehidupan itu sendiri, sementara dunia penddikan Islam berusaha membahagiakan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak dengan mengutamakan kebersamaan, kerukunan dan keperdulian.
Kegagalan dalam menjalankan pendidikan berarti kegagalan dalam membina generasinya. Pendidikan yang ideal adalah memberikan harapan masa depan yang bermutu dan berkualitas, baik secara jasmani ataupun rohani. Material dan sepiritual. Pendidikan agama (Islam) selalu berusaha menciptakan insan yang madani lagi Islami, bahagia di dunia dan di akhirat. Sementara kapasitas (alokasi waktu) yang tersedia pada sekolah-sekolah umum sangat kecil sekali, yakni hanya dua jam dalam satu minggu.
Keterbatasan alokasi waktu pendidikan agama (Islam) tersebut tidak menutup kemungkinan untuk mengkondisikan sekularisme di kalangan generasi muda. Penyebabnya ialah fokus dan perhatian anak didik tidak lagi membutuhkan agama, akan tetapi lebih mementingkan kepada kebutuhan materi atau keilmuan dan teknologi yang serba canggih dan mutakhir.
Dalam sejarah hidup manusia, pendidikan tidak pernah berhenti dalam membentuk kualitas pribadi seseorang. Upaya peningkatan kualitas pribadi tersebut merupakan dasar/prinsip yang harus dikembangkan dalam menghadapi era global. Karena pendidikan merupakan proses komprehensip, meliputi seluruh aspek kehidupan dalam rangka mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang survive pada zamannya.
Melalui pendidikan, baik sifatnya pendidikan umum ataupun agama, diharapkan dapat tertata basis nilai, pemikiran dan moralitas bangsa agar mampu menghasilkan generasi yang tangguh dalam keimanan, kokoh dalam keperibadian, kaya dalam intelektual dan unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persoalan yang muncul dalam era global ini adalah : pada satu sisi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah atau luar sekolah) lebih mengutamakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), dan pada sisi lain lebih mengutamakan pada segi Ilmu Iman dan Taqwa (Imtaq), sehingga telah terjadi dikhotomi dimana satu sisi masyarakat peserta didik lebih menguasai ilmu pengetahuan umum akan tetapi lemah dalam segi ilmu agama. Sebaliknya ilmu agama sangat menguasai namun ilmu umum sangat lemah.
Kondisi dikhotomi system pendidikan itu sangat menghawatirkan dan berakibat terbentuknya generasi superior, yakni menciptakan produk yang pribadi dan moral yang kurang, bahkan tidak Islami karena terhegemoni oleh Iptek. Sementara generasi lainnya ‘alim dan mempunyai integritas moral yang baik akan tetapi miskin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Fenomena tersebut telah mengejala dalam dunia modern sekarang ini, dan sekaligus menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Agama Islam khususnya. Oleh karenanya perlu disikapi bersama secara terpadu. Artinya tidak hanya merupakan tanggung jawab para pemuka dan pendidikan agama Islam saja, melainkan menjadi tanggungjawab bersama masyarakat umumnya dan orang tua pada khususnya.
Pola pendidikan dalam era global tergambar dalam sebuah diagram pola pikir tantangan pendidikan dalam era globalisasi di bawah ini.
Pada diagram di atas, tergambar bahwa pendidikan terbagi dalam dua hal, yakni Pendidikan Umum dan Pendidikan Agama. Pendidikan Umum dimotori oleh akal dan rasio dan banyak dipengaruhi oleh budaya barat yang telah mengubah pola (nilai) kehidupan. Tujuan pendidikan nasional sebenarnya adalah untuk menciptakan manusia bermutu dan berkualitas. Begitu juga tentang Pendidikan Agama (Islam) yang dimotori oleh akal, wahyu dan rasio adalah juga telah memberikan kontribusi besar dalam pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga tercipta ‘Muslim Sejati’.
“Ipoleksosbudhankam dan Agama” adalah merupakan faktor pendukung sekaligus juga sebagai faktor penghambat. Oleh karenanya semakin baik perkembangan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan serta keberagamaan suatu bangsa, maka semakin teruji keberhasilan proseas pendidikan. Sebaliknya, semakin banyak gangguan dari aspek kehidupan tersebut, maka semakin sulit pendidikan untuk menjalankan tujuan, visi dan missinya dalam membantuk sumber daya manusia disekitarnya.
Tantangan pendidikan agama Islam dalam era global meliputi semua aspek kehidupan nasional, yaitu kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan agama itu sendiri. Kelemahan yang dirasakan dalam proses pendidikan ini adalah terletak pada pembinaan Sumber Daya Manusia, penyediaan dana pendidikan dan sistem pendidikan itu sendiri. Pada SDM yang memiliki potensi dan profesionalisasi yang tinggi akan melahirkan kebijakan pendidikan yang baik, usaha dana dan sistem pendidikan yang ideal, sehingga mampu mengimplementasi konsep dengan baik dan benar.
Pentingnya Menumbuhkan Pendidikan Moral Di Era Globalisasi
Globalisasi memiliki sisi positif dan negatif terhadap pendidikan moral. Disatu sisi, arus globalisasi merupakan harapan yang akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun disisi lain, era globalisasi juga memberikan dampak yang sangat merugikan. Dengan perkembangan sektor teknologi dan informasi, manusia tidak lagi harus menunggu waktu, untuk bisa mengakses berbagai informasi dari seluruh belahan dunia, bahkan yang paling pelosok sekalipun. Kondisi ini menjadikan tidak adanya sekat serta batas yang mampu untuk menghalangi proses transformasi kebudayaan. John Neisbitt, menyebutkan kondisi seperti ini sebagai “gaya hidup global”, yang ditandai dengan berbaurnya budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tatacara hidup yang hampir sama, kegemaran yang sama, serta kecenderungan yang sama pula, baik dalam hal makanan, pakaian, hiburan dan setiap aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam ini, akan membawa implikasi pada hilangnya kepribadian asli, serta terpoles oleh budaya yang cenderung lebih berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh dalam bidang industri serta teknologi informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial yang memunculkan nilai-nilai yang bersifat pragmatis, materialistis dan individualistik.
Tidak terkecuali, bagi masyarakat Indonesia yang telah memiliki budaya lokal, terpaksa harus menjadikan budaya barat sebagai ukuran gaya hidupnya, untuk bisa disebut sebagai masyarakat modern. Disamping itu, sebagai bangsa yang berpenduduk mayoritas muslim, yang telah memiliki acuan suci, yakni Al-Qurán dan tauladan Nabi Muhammad SAW, masyarakat Indonesia juga telah menggantikan budaya Islam yang telah mampu mengangkat martabat serta derajat masyarakat jahiliyah Arab dengan budaya barat, yang merupakan produk revolusi industri, yang telah menjatuhkan martabat manusia. Dengan kebebasan individu dalam faham barat, telah menjadikan masyarakat muslim melepaskan kontrolnya dari kepercayaan moralitas serta spiritualitas (agama).
Berbagai perilaku destruktif, seperti alkoholisme, seks bebas, aborsi sebagai penyakit sosial yang harus diperangi secara bersama-sama. Sehingga kenyataan ini menjadikan banyak orang yang tidak lagi mempercayai kemampuan pemerintah, untuk menurunkan angka kriminalitas serta berbagai penyakit sosial lainnya.
Dari gambaran diatas, terlepas dari mana yang paling signifikan, namun kenyatan tersebut, telah menjadikan pendidikan moral serta agama sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi penyakit serta krisis sosial yang ada ditengah masyarakat.
Dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia, runtuhnya nilai moralitas serta norma agama dikalangan masyarakat dan para pemimpin bangsa, sebenarnya sangat pantas untuk kita kemukakan kepermukaan, dalam upaya menemukan solusi bagi penyelesaian krisis multidimensional yang ada. Karena ketidak mampuan bangsa ini bangkit dari keterpurukan, lebih diakibatkan oleh kurangnya kebersamaan serta rasa saling menang dan meraih keuntungan sendiri, diantara setiap elemen bangsa. Kesadaran dari masing-masing individu serta kelompok akan kemaslahatan bersama-lah, yang akan menjadi solusi paling tepat bagi upaya penyembuhan penyakit sosial yang ada. Dengan demikian, pendidikan moral dan agama, menjadi sangat mutlak bagi terbangunnya tata kehidupan masyarakat yang damai, adil makmur dan bermartabat. Terlebih lagi, dalam konteks kehidupan global yang semakin transparan dan penuh kompetisi, nilai agama dan moralitas merupakan benteng agar setiap individu tidak terjerumus dalam prakti kesewenag-wenangan dan ketidak adilan.
Moralitas al Qurán serta Tauladan Muhammad
Dalam Islam, moralitas atau sisitem perilaku, terwujud melalui proses aplikasi sistem nilai/norma yang bersumber dari al Qurán dan sunnah Nabi. Berbeda dengan etika atau moral yang terbentuk dari sistem nilai/norma yang berlaku secara alamiah dalam masyarakat, yang dapat berubah menurut kesepakatan serta persetujuan dari masyarakatnya, pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Sistem etika ini sama sekali bebas dari nilai, serta lepas dari hubungan vertikal dengan kebenaran hakiki.
Dalam surat Ali Imran, ayat 190-191 disebutkan,
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab (yaitu) orang-orang yang berdzikir pada Allah ditengah ia berdiri, duduk dan berbaring, serta bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi. (kemudian ia berkata), Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia….”.
Dalam ayat ini, setidaknya dapat diambil tiga titik penting, yakni ulul albab (sisi kemanusiaan), Dzikrullah (sisi ke-Tuhanan), serta Tafakur (sisi kealaman).
Perenungan terhadap Tuhan, merupakan landasan bagi kebijaksanaan yang akan lahir dari setiap kerja dan aktifitas manusia. Dengan pelaksanaan perenungan terhadap Tuhan secara kontinyu, akan membawanya pada kesadaran ilahiyah. Sedangkan tafakur (kerja berfikir) manusia merupakan kerja universal dan integral. Dalam hal ini, berfikir bukan saja terhadap langit dan bumi, akan tetapi juga terhadap segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk berbagai fenomena dan arus sejarah kehidupan yang dialami oleh umat manusia, dari waktu kewaktu. Formulasi dari hasil berfikir terhadap alam inilah yang selanjutnya dirumuskan sains dan teknologi, sebagai salah satu bentuk dari produk budaya manusia.
Disinilah letak keberhasilan manusia untuk menjadi hamba yang bergelar ulil albab. Seorang ulil albab akan menjalani hidup serta kehidupannya dengan dua landasan, yakni landasan dzikir dan landasan pikir. Landasan dzikir menekankan pada rasa tanggungjawabnya didalam memanfaatkan alam semesta, semata-mata hanya demi kemaslahatan umat, sedangkan landasan pikir akan membawanya untuk senantiasa melakukan kerja perekayasaan terhadap alam semesta, dengan menghasilkan berbagai temuan sain yang aplikatif (teknologi).
Hubungan diantara kedua landasan tersebut, dalam kaitannya dengan alam semesta, tercermin dalam sikap dan tingkah laku (moral), disaat manusia melaksanakan fungsinya sebagai khalifatullah. Moral merupakan sikap manusia yang dimanifestasikan kedalam perbuatannya. Oleh karena itu, antara sikap dan perbuatan harus menyatu, dan tidak boleh saling kontradiktif, atau dalam bahasa yang lebih populer adalah “menyatunya kata dan perbuatan”.
Disamping itu, Nabi Muhammad, sebagai al matsalul kamil (contoh yang sejati dan sempurna), juga telah memberikan tauladan terhadap umatnya untuk berlaku menurut nilai-nilai moralitas yang luhur. Bahkan, salah satu fungsi diutusnya Muhammad adalah untuk menyempurnakan moral masyarakat. Sehingga pribadi Muhammad merupakan contoh moralitas yang sangat luhur, bagi pembentukan tatanan sosial masyarakat yang bermartabat.
Oleh karena itu, moral bukan saja bersifat personal, seperti jujur, adil dan bertanggungjawab, akan tetapi juga berdimensi publik, yakni terciptanya etika kolektif, serta kehidupan sosial yang santun. Dengan etika kolektif inilah, akan terbangun etika organisasi yang mengharuskan setiap individu untuk berjalan bersama, menurut landasan etika kolektif tersebut. Namun demikian, pada dasarnya etika publik ini terbentuk dari etika individu, sehingga tidak mungkin akan tercipta etika publik, tanpa adanya kesadaran masing-masing pribadi akan nilai moralitas.
Pendidikan agama dan moral merupakan pedoman sangat penting bagi dalam proses belajar mengajar sebagai salah satu antisipasi agar anak-anak didik kita terhindar hal-hal yang bertentangan dengan agama di era globalisasi saat ini. Dikatakan, dengan kuatnya pendidikan agama akan menciptakan generasi yang bermoral dan berkualitas. Kondisi itulah yang saat ini ditanamkan Yayasan Pendidikan Harapan, sehingga melahirkan generasi-generasi yang berkualitas dengan cirinya iman, ilmu dan amal.
Pendidikan moral bisa disamakan pengertiannya dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan moral merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian supaya menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat asas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, dan ulet. Jika anggota masyarakat telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai budi pekerti tersebut, diyakini ia telah menjadi manusia yang baik.
Zaim Elmubarok dalam bukunya “Membumikan Pendidikan Nilai” (2009) berkeyakinan bahwa sentral pendidikan nilai adalah keluarga. Menurutnya, keluarga adalah satu-satunya sistem sosial yang diterima di semua masyarakat, baik yang agamis maupun yang non-agamis. Sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat, keluarga memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial umat manusia. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tahap pertama lembaga-lembaga penting sosial dan dalam tingkat yang sangat tinggi, ia berkaitan erat dengan kelahiran peradaban, transformasi warisan dan pertumbuhan serta perkembangan umat manusia. Secara keseluruhan, semua tradisi, keyakinan, sopan santun, sifat-sifat individu dan sosial, ditransfer lewat keluarga kepada generasi-generasi berikutnya.
Zaim juga menanggap keluarga merupakan batu pondasi setiap masyarakat besar manusia, dimana semua anggotanya memiliki peran mendasar dalam memperkokoh hubungan-hubungan sosial dan pengembangan serta penguatan di semua aspeknya. Untuk itu, semua usaha guna memperkuat bangunan keluarga, akan membuka peluang untuk pertumbuhan jasmani dan rohani yang sehat, dan pengokohan nilai-nilai moral di tengah masyarakat. Teori ini sangat relevan dengan kenyataan sosial yang berlaku di Indonesia, bahwa lembaga keluarga merupakan modalitas sosial yang sudah terbangun sejak lama dan selalu dijaga hingga sekarang.
Para pakar meyakini bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dimana jiwa dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Untuk itulah keluarga memainkan peran yang amat mendasar dalam menciptakan kesehatan kepribadian anak dan remaja. Tentu saja status sosial dan ekonomi keluarga di tengah masyarakat berpengaruh pada pola berpikir dan kebiasaan anak. Dengan demikian, berdasarkan bentuk dan cara interaksi keluarga dan masyarakat, anak akan memperoleh suasana kehidupan yang lebih baik, atau sebaliknya, akan memperoleh efek yang buruk darinya.
Tantangan Pendidikan Moral
Tantangan yang akan menghadang dalam upaya menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak antara lain sebagai berikut:
1. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri dimana informasi baik positif maupun negative dapat langsung diakses dalam kamar/rumah. Tanpa adanya bekal yang kuat dalam penanaman agama (yang telah tercakup di dalamnya nilai moral dan budi pekerti) hal itu akan berdampak negative jika tidak di saring dengan benar.
2. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak dapat diabaikan.
3. Moral para pejabat/birokrat yang memang suda amat melekat seperti “koruptor”, curang/tidak jujur, tidak peduli dengan kesusahan orang lain, dan lain-lain ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusan diimplementasikan secara benar.
4. Kurikulum sekolah mengenai dimasukannya materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model integrated learning tersebut ke dalam mata pelajaran lain yang sedang diajarkannya atau yang diampunya.
5. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena bagaimanapun, setiap ada kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.
Faktor-faktor Penyebab Turunnya Moral di Masyarakat Indonesia
Masalah moralitas masyrakat Indonesia baik itu usia remaja hingga dewasa, sekarang ini sudah menjadi problema umum dan merupakan pertanyaan yang belum ada jawabannya. Seperti mengapa para remaja kita sudah mengkonsumsi obat-obatan terlarang? mengapa para remaja kita dengan bebasnya bergau dengan lawan jenis tanpa merasa risih dan malu? megapa para pemiimpin di negeri kita sugguh mudah tersinggung, dan tidak malu juga mempertontonkan pertengkaran di muka umum? Mengapa begitu banyak para pemimpin ini tidak merasa malu mengambil hak-hak orang kecil, seperti melakuka korupsi?. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang telah dikemukakan meruapakan sederetan kecil dari masalah moral yang masih belum bisa hadapi.
Ketika berbicara tentang moral, kita perlu tahu bahwa hal ini erat kaitannya dengan perilaku masyarakat itu sendiri. Perilaku masyarakat yang menyimpang dari aturan yang seharusnya membuat moral bangsa kita semakin buruk di mata negara lain. Kemerosotan moral ini bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan karena hal itulah yang membuat negara kita tampak kurang berwibawa di dunia internasional. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kemerosotan moral bangsa Indonesia dan hal itu perlu diketahui sehingga kita mampu menemukan solusi yang terbaik dan membantu dalam penyelesaian masalah tersebut.
Penyalalahgunaan sebagian ajaran moral
Tidak diragukan lagi bahwa sebagian ajaran moral telah dan masih terus akan disalahgunakan dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka yang telah dirasuki ketamakan, terutama apabila mempunyai kekuatan dan pengaruh, tidak akan ragu-ragu dalam memakai segala cara untuk mencapai tujuannya. Penelitian ilmiah, terlepas dari kebenaran landasannya, terkadang dipergunakan untuk melakukan penindasan, tirani, menyiksa kelas buruh.
Penyalalahgunaan Konsep-Konsep moral
Sama hal nya dengan ajaran moral, konsep-konsep dari moral pun disalahgunakan. Seringkali ditemui, kemerdekaan ditindas atas nama kemerdekaan, dan ketidakadilan diterapkan atas nama keadilan dan persamaan. Setiap hal yang baik dan bermamfaat bisa disalahgunakan. Meskipun demikian, bagaimanapun nama keadilan itu disalahgunakan tidak akan sama halnya dengan ketidakadilan itu sendiri. Keduanya tetap berbeda. Demikian juga, bagaimanapun nama kemerdekaan disalahterapkan, tetapi kemerdekaan sejati tidak akan sama dengan perbudakan.
Jadi tidak diragukan lagi ajaran Islam telah dieksploitasi untuk tujuan pribadi dan kelompok tertentu. Tetapi tidak berarti bahwa ajaran-ajaran tersebut palsu atau rancu. Sebaliknya, keadaan tersebut menuntut kewaspadaan sebagian masyarakat agar ajaran tersebut tdak rusak, dan nilai-nilainya tidak disalahgunakan.
Masuknya Budaya Westernisasi (budaya kebarat-baratan)
Masuknya budaya barat bisa dikatakan sebagai penyebab turunnnya moral bangsa Indonesia saat ini. Sebenarnya budaya tersebut tidaklah salah, yang salah adalah individu yang tidak mampu menyaring hal-hal yang baik untuk dirinya. Dengan budaya asing yang masuk ke negara kita sekarang ini, banyak orang menganggap bahwa free sex atau materialisme adalah hal yang biasa. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat banyak remaja yang melakukan hal tersebut dan hal itu yang sering jadi masalah remaja saat ini. Tumbuhnya budaya materialisme juga bisa diliat dari banyaknya orang-orang yang sangat memperhatikan gaya hidup yang terkesan mewah tanpa memperdulikan sekitar dan masa depannya.
Perkembangan Teknologi
Turunnya moral bangsa Indonesia juga diakibatkan oleh perkembangan teknologi saat ini. Dengan kemudahan akses internet, banyak orang memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mencari gambar atau video porno. Hal ini jika dilakukan terus menerus akan merusak moral bangsa karena pikiran mereka sudah dimasuki oleh doktrin-doktrin barat yang kadang salah tersebut.
Lemahnya Mental Generasi Bangsa
Penurunan kualitas moral dari generasi bangsa juga dapat disebabkan karena lemahnya mental dari generasi bangsa yang terbentuk sejak dini, sehingga membentuk karakter yang kurang baik. Karakter tersebut akan menjadi watak perilku seseorang dalam menjalani kehidupan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu diupayakan pembentukan karakter sejak dini.
Kurangnya Materi Aplikasi tentang Budi Pekerti
Kurangnya materi pengapliasian dari budi pekerti adalah salah satu penyebab turunnya moral bangsa kita baik itu dalam bangku sekolah, dan kurangnya perhatian dari guru sebagai pendidik dalam hal pembentukan karakter peserta didik, sehingga peserta didik lebih banyak terfokus pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif dalam pembelajaran. Hasilnya adalah peserta didik pintar dalam hal pelajaran tertentu, namun mempunyai akhlak/moral yang kurang bagus. Banyak di antara peserta didik yang pintar jika mengerjakan soal pelajaran, namun tidak hormat terhadap gurunya, suka mengganggu orang lain, tidak mempunyai sifat jujur, malas, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Tingginya angka kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun peserta didik, dipandang sebagai akibat dari kurang efektifnya sistem pendidikan saat ini. Ditambah lagi dengan masih minimnya perhatian guru terhadap pendidikan dan perkembangan karakter peserta didik. Sehinga sebagian peserta didik tidak mempunyai karakter positif. Pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu tumbuh secara parsial, menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan secara lebih penuh sebagai manusia. Hal tersebut sudah dicontohkan dalam sistem pendidikan kita pasca reformasi. Kurikulum yang dibangun untuk mencerdaskan kehidupan justru berujung kepada penurunan moral dari sebagian perserta didiknya.
NB :
Ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam ahlak kita, untuk menanggulangi masalah moral ini , diantara lain adalah :
Memandang Martabat Manusia
Rasulullah Saw, telah mengatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan martabat dan derajat manusia.
Orang yang meceritakan tradisi tersebut bertanya kepada Sayidina Ali k.w. tentang sifat-sifat tersebut. Sayidina Ali menjawab “ alim , toleran, tahu berterima kasih, sabar, murah hati, berani, mempunyai harga diri, bermoral, berterus terang, dan jujur.
Memiliki harga diri (self-respect) artinya kapan saja dia bekerja untuk kepentingannya dan untuk memenuhi kebutuhannya, dia harus memperhitungkan segala sesuatu yang sekiranya bisa memalukan da merendahkan posisinya, seperti tidak konsisten denga martabatnya sebagai manusia, dan mempertimbangkan segala tindakan yang akan bisa mengembangkan kematangan spiritualnya, dan mengangkat posisinya agar bisa dibanggakan.
Sebagai contoh, setiap orang sadar bahwa sifat cemburu dan iri hati hanya akan menghina dan memalukan dirinya sendiri. Orang yang iri hati tidak akan tahan dengan kemajun dan prospek orang lain. Ia tidak senang dengan prestasi-prestasi mereka. Reaksi satu-satunya adalah bagaimana caranya bisa menimbulkan bencana bagi orang lain dan mengganggu rencana-rencana mereka. Da tidak akan merasa puas jika orang lain tidak kehilangan nasib baiknya, dan tidak seperti dia. Setiap orang saddar akan memiliki sifat seperti itu hanya merupakan cerminan kepicikan belaka. Seseorang yang tidak menghargai keberhasilan orang lain adalah manusia yang tak berharga tak berkepribadian.
Sama halnya dengan sifat iri hati. Orang yang iri hati adalah orang yang begitu terpesona dengan kekayaanya sehingga ia enggan utuk menyisihkan atau membelanjakannya, bahkan bukan untuk kepentingan sendiri dan keluarganya. Dia tidak mau mendermakan kekayaan yang dimilikinya. Nampaknya orang semacam itu menjadi tawanan dari kekayaannya sendiri. Dia merendahkan martabat di depa matanya sendiri.
Dengan demikian kita mengetahui bahwa rasa harga diri adalah perasaan sejati manusia. Kita merasa senag jika memberika amal, bertindak toleran, sederhana dan bekerja tekun, dan sebagainya. Sedangan sifat munafik, menjilat, cemburu dan sombong akan menghina dirinya sendir, tanpa terikat pada ajaran atau kebiasaan dan tradisi yang ada pada masyarakat tertentu. Islam mengutuk keras sifat-sifat jelek seperti itu, dan melarang eras mengembangkannya.
Beberapa sifat tertentu seperti toleran dan pengorbanan diri adalah masalah penghargaan diri dan tanda keterbukaan hati dan kebesaran jiwa. Orang yang selalu sikap berkrban dan melatih kendalu dirinya, da ditandai denga kepribadian yang baik seperti itu sehingga dia menjalani kepentingannya demi untuk kebaika orang lain dan untuk mempertahankan tujuan yang diharapkan.
Merendahkan hati dalam pengertian menghormati orang lain dan mengakui prestasi mereka dan bukan dalam pengertian memalukan diri sendiri untuk tunduk pada kekuatan, juga merupakan sifat yang mulia dan sesuai dengan martabat manusia. Kualitas seperti ini dipunyai oleh mereka yang selalu bisa mengendalikan diri dan tidak egois (self-centered), dan dengan realistis mengakui hal-hal baik dalam diri orang lain dan menghormatinya.
Sifat-sifat mulia tersebut yang membentuk landasan karakter yag mulia, adalah bagian fari nilai-nilai moral Islam yang tinggi. Kita mempunyai contoh-contoh yang tak terhitung mengenai sifat-sifat seperti itu, dan semua masalah etika mungkin diperhitungkan berkaitan dengan martabat manusia. Karena itu Nabi Besar Umat Islam dalam menyimpulkan pesan etikanya, menggambarkan sifat-sifat itu sebagai karakter manusia yang sempurna dan mulia.
Mendekatkan Manusia dengan Allah SWT
Hanya sifat-sifat mulia yang telah disebutkn diatas yang akan mendekatkan manusia dengan Alloh . Dngan demikian manusia-manusia harus memiliki dan mengembagkan sifat-sifat tersebut apabila kita membahas sifat-sifat Alloh, dan sebaliknya. Dia Maha mengetahui, Maha Kuasa dan Maha Kompeten. Semua tindakan-Nya telah dierhtungkan dengan baik-baik. Dia Maha Adil, Maha Pengasih dan Penyayang. Semua merasakan karunia-Nya. Dia menyukai kebenaran dan membenci keburukan. Dan selanjutnya dan seterusnya. Manusia dekat dengn Alloh sesuai dengan kualitas-kualitas yang dia miliki. Jika sifat-sifat tersebut mendarah daging dalam drinya dan menjadi pelengkapnya, bisa dkatakan bahwa ia telah mendapatkan nilai-nilai moral islam. Rasululloh bersabda :
“Binalah diri sendiri sesuai dengan sifat-sifat Allah SWT”
Manusia Islam, terlepas dari keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari tidakan dan kebiasaannya, selalu mampu untuk mengetahui apakh tindakan atau sifat tertentu akan menjaga martabat kemanusiannya, dan apakah akan membantunya dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Alloh. Dia menganggap bahwa yang diinginkan adalah segala tindakan yang akan mengangkat martabat manusia mendekatkan dirinya dengan Alloh. Demikian pula dia akan enggan dan menghindarkan diri dari segala tindakan yang akan merusak martabat manusia an memperlemah hubungan dengan Alloh. Dia menyadari bahwa perhatianya terhadap kedua kriteria tersebut secara otomatis akan membangkkitkan gairah dan berantusias untuk berkarya denga sadar untuk kepentingannya dan kepentingan kemanusiaan secara luas.
Kontribusi di bidang pendidikan
Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun, jika kita melihat kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini, ternyata masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Proses pendidikan belum sepenuhnya berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter positif. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana pintar dalam bangku sekolah atau perkuliahan dan piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi lemah dalam hal mental, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Di sisi lain, pendidikan yang bertujuan mencetak manusia yang cerdas dan kreatif serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, belum sepenuhnya terwujud. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus pelajar yang terlibat tawuran, kasus kriminal, narkoba, seks di luar nikah, dan kasus-kasus yang lain.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan, untuk memperbaiki moral generasi bangsa melalui pendidikan. Namun keinginan tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan. Pemerintah dalam melaksanakan pendidikan, masih lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa, dengan mengesampingkan kemampuan afektif atau perilaku siswa dan psikomotorik atau keterampilan
Salah satu solusi agar pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan menerapkan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi konsumen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun ke bangsa sehingga menjadi insan kamil. Dengan penerapan pendidikan karakter, maka karakter dari peserta didik akan terbentuk sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, kemudian dilanjutkan pada sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka akan menjadi perisai atau kontrol dalam diri seseorang, sehingga akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Intinya adalah, jika karakter sudah terbentuk, maka akan sulit untuk mengubah karakter tersebut.Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu proses pembentukan karakter dari peserta didik yang bermoral dan bermartabat. Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka karakter tersebut akan sulit hilang sehingga akan menjadi watak perilaku seseorang dalam menjalani masa yang akan datang. Penerapan pendidikan karakter dalam sistem kurikulum pendidikan dapat dilaksanakan dengan cara :
• Menyisipkan nilai-nilai moral di setiap proses belajar mengajar
• Membentuk kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada penggugahan motivasi internal peserta didik
• Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan peserta didik dipersyaratkan lulus mata pelajaran tersebut
• Mata pelajaran yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral hendaknya lebih aplikatif, tidak hanya text book semata
• Menyeimbangkan porsi antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral). Dalam hal ini guru, Departemen Pendidikan Nasional, dan masyarakat pemerhati pendidikan untuk bersama-sama mengupayakan penerapan pendidikan karakter ke dalam sistem kurikulum pendidikan.
Kesimpulan:
Pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat setempat. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kemerosotan moral bangsa Indonesia dan hal itu perlu diketahui sehingga kita mampu menemukan solusi yang terbaik dan membantu dalam penyelesaian masalah tersebut. Bagaimana kemerosotan moral di masyarakat sekarang adalah sebuah hal bahwa masyarakat kuarang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Masyarakat sekarang sudah mengambil suatu budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita, oleh karena itu mereka terpengaruh dengan kebiasaan yang buruk melalui berbagai pengaruh baik media elektronik, style, dan gaya hidup yang serba lebih ke modern-modernan. Perkembangan teknologi dan budaya membuat sebagian orang di Indonesia menyalahgunakannya dengan berbagai kemauan dan kehendak mereka sendiri. Jadi, ada baiknya kita bisa memilih bagaimana budaya, teknologi dan lain sebagainya berguna bagi kita dan orang lain. Semoga dengan adanya pendidikan moral sejak dini bisa membuat kita lebih dekat kepada Allah SWT dan budi pekerti kita bisa membuat kita terpandang sebagai khalifah yang baik di dunia ini.
Referensi :
Soedijarto.(1993).Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Miqdad, Yeljen.(1995).Globalitas Persoalan Manusia Moderen Solusi Tarbiyah Islamiyah. Surabaya:Risalah Gusti.
Azyumardi, Azra.(1999).Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru. Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
H.A.R. Tilaar.(2000).Paradigma Baru Pendidikan Nasional.Jakarta:Rineka Cipta.
Zainur Roziqin. “Moral Pendidikan di Era Global.” (Averroes Press, 2007)
Syahidin, dkk (2009).Moral dan Kognisi Islam.Bandung:Alfabeta.
Comments